nusakini.com--Luas area perkebunan teh Indonesia terus menerus menurun sejak tahun 1998, dari yang tadinya sebesar 157.039 hektar, menjadi hanya tersisa 118.252 hektar pada tahun 2017. Artinya, dalam kurun waktu 19 tahun, area teh di Indonesia menurun seluas 38.787 hektar atau rata-rata menurun lebih dari 2.000 hektar per tahun. 

  Berkaca dari hal tersebut, Kedeputian Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengadakan Workshop bertajuk “Penyusunan Rencana Pembangunan Percontohan Perkebunan Teh Rakyat”, Senin (9/4), di Jakarta. 

  Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud menuturkan, salah satu tujuan diadakannya workshop ini yaitu untuk mencegah penurunan area teh dan bahkan untuk meningkatkan area teh secara nasional. 

  “Salah satu cara untuk mempertahankan area seluas itu adalah dengan mempercepat penanaman baru (new planting) di lahan milik petani teh rakyat sendiri dan di lahan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat),” tutur Musdhalifah. 

  Lebih lanjut, Musdhalifah menjelaskan, teh juga memiliki nilai ekonomis sama halnya dengan komoditas yang lain. Teh Indonesia juga sudah terbuka untuk pasar, tinggal menyiapkan perkebunan teh baru. 

  “Kualitas teh sudah ada, produktivitas teh sudah ada, tinggal memaksimalkannya,” jelasnya.  

  Kemudian, akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi petani teh juga menjadi perhatian. Sebab KUR yang ada selama ini adalah KUR tahunan. Ia mengharapkan ada skema KUR yang menyesuaikan siklus panen dan bisnis petani teh. 

  “Kalau yang pertahunan dirasa menyulitkan, sehingga mungkin ada skema setiap berapa bulan sekali. Supaya teman-teman yang bergerak di bidang bisnis tersebut lebih bisa mengakses KUR dengan mudah,” ungkapnya. 

  Dalam kurun waktu lima tahun, pemerintah telah melakukan program intensifikasi dan rehabilitasi untuk membantu para petani dalam meningkatkan produktivitas teh. 

  Salah satu daerah yang telah berhasil mengaplikasikan program tersebut yaitu perkebunan teh rakyat milik Kelompok Tani Neglasari di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Pada saat ini, produktvitas kebun teh rakyat ini dapat menghasilkan 4.000 kg per hektar per tahun. Dengan rata-rata produktivitas kelompok tani yaitu 3.000 kg per hektar per tahun. 

  Berkat program intensifikasi dan rehabilitasi tersebut, rata-rata produktivitas nasional Badan Usaha Milik Negara (BUMN) teh sebanyak 1.983 kg per hektar per tahun, kemudian Perkebunan Besar Swasta (PBS) teh 1.552 kg per hektar per tahun, dan teh rakyat sebanyak 1.412 kg per hektar per tahun. 

  Dalam workshop ini, pemulihan eksositem Sungai Citarum juga menjadi sorotan. Mengingat, menurut World Bank, Citarum merupakan sungai terkotor di dunia. 

  “Kami ingin menghasilkan pembangunan percontohan teh rakyat seluas 1000 hektar di hulu sungai citarum. Oleh karena itu, sangat penting memulihkan ekosistem daerah aliran Sungai Citarum untuk mewujudkan Sungai Citarum bersih, sehat, dan lestari,” tambah Musdhalifah. 

  Dalam kesempatan yang sama, Pangdam III Siliwangi, Mayor Jenderal TNI Besar Harto Karyawan mengungkapkan situasi Sungai Citarum sangat vital dan strategis. Kondisi Sungai Citarum yang mengalami kerusakan akan berdampak pada kerugian air bersih sebesar Rp 197 triliun per tahun dan pada energi sebesar Rp 240 triliun per tahun. Padahal, sebesar 420.000 hektar sawah berada di Jawa Barat. 

  “Untuk itu, dibutuhkan satu kesatuan komando dari hulu ke hilir dan semua komponen, baik pemerintah, TNI, masyarakat, hingga swasta,” jelas Mayjen Harto.(p/ab)